![]() |
Ilustrasi. (Koran Aceh). |
Oleh:
Abu Lamsagôp
Dalam konteks metaverse, Isra’ Mi’raj mengajarkan kita tentang makna dialog
transendental. Setiap sujud adalah panggilan video rohani, setiap doa adalah
pesan instan yang dikirim ke surga.
koranaceh.net ‒ Peristiwa Isra’ dan Mi’raj merupakan salah satu
titik penting dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW dan merupakan momen
yang membuka cakrawala spiritual seorang Muslim.
Dalam konteks ini, kita dapat merenungkan konsep “metaverse” yang
diadaptasi dari perjalanan rohani Nabi. Metaverse, dalam istilah modern,
merujuk kepada ruang digital yang menghubungkan individu dalam berbagai
dimensi pengalaman.
Konsep ini dapat dihubungkan dengan perjalanan Nabi dalam Isra’ dan Mi’raj,
yang merupakan perjalanan lintas dimensi antara bumi dan langit, antara
manusia dan Allah.
Perjalanan Isra’ dimulai dari Masjidil Haram di Mekah dan berlanjut ke
Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Baca Juga:
Sang Ular Tengah Menelan Ekornya
Dalam konteks ini, kita dapat menganggap Masjidil Aqsa sebagai titik pertemuan
spiritual, di mana Nabi Muhammad SAW bertemu dengan para nabi dan menerima
wahyu.
Proses ini mirip dengan bagaimana pengguna dalam metaverse dapat berinteraksi
dan berkolaborasi dalam lingkungan digital yang luas.
Di sini, Allah melalui perantaraan Jibril memberi Nabi kesempatan untuk
merasakan pengalaman transendental, menghapus batasan fisik dan membawa
kedekatan kepada Ilahi.
Setelah perjalanan ke Masjidil Aqsa, Mi’raj membawa Nabi Muhammad secara
langsung menuju Sidratul Muntaha. Ini adalah perjalanan spiritual yang sangat
tinggi dan penuh makna.
Baca Juga:
Benarkah Demokrasi Giring Muslim ke Neraka?
Dalam perjalanan ini, Nabi Muhammad mendapatkan perintah shalat yang merupakan
tiang agama. Shalat, sebagai bentuk komunikasi langsung antara hamba dan
Tuhan, bisa kita lihat sebagai dialog antara dua entitas yang berbeda, serupa
dengan interaksi dalam metaverse, di mana setiap individu dapat saling berbagi
ide dan perasaan meski terpisah jarak.
Dalam konteks metaverse, dialogis menjadi esensial. Di sinilah kita menemukan
paralel yang kuat.
Dialog antara Allah dan hamba-hamba-Nya melalui shalat dan ibadah lainnya
merupakan bentuk hubungan mendalam yang dapat kita teladani.
Semangat dialogis ini mencerminkan kepedulian dan kasih sayang Allah yang
tulus terhadap hamba-Nya yang serius dalam mengabdi.
Baca Juga:
Perlambatan Inflasi Jepang, Sebuah Tantangan dan Kebijakan Moneter
Melalui Isra’ dan Mi’raj, kita diajarkan untuk selalu mengingat pentingnya
komunikasi yang baik dengan Sang Pencipta.
Banyak pelajaran berharga yang dapat kita ambil dari perjalanan ini. Kita
diajak untuk memahami bahwa dalam mengejar kebaikan dan kedekatan kepada
Allah, kita harus bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah.
Persepsi tentang metaverse yang menghubungkan kita dalam pengalaman sosial
juga dapat terwujud dalam ibadah kita, di mana shalat jamaah dan aktivitas
kebersamaan lainnya menciptakan sinergi spiritual yang membantu kita berlari
menuju Allah.
Ketika kita menggunakan konsep metaverse untuk merenungkan Isra’ dan Mi’raj,
kita dituntun untuk mengembangkan kesadaran bahwa kehidupan spiritual kita
bukan hanya terbatas pada praktik ibadah secara individual, tetapi juga
bagaimana kita menghubungkan diri dengan sesama dalam tali persaudaraan Islam.
Baca Juga:
Politik Itu Soal Komunal Bukan Personal
Dengan semangat kasih sayang dan kepedulian dalam setiap tindakan, kita
menjadi bagian dari realitas spiritual yang lebih besar.
Akhirnya, perjalanan Isra’ dan Mi’raj menunjukkan kepada kita bahwa ada banyak
dimensi dalam hubungan kita dengan Allah dan sesama.
Kita diajak untuk menjaga hati dan niat kita agar senantiasa tulus dan serius
dalam beribadah, sambil terus menjalin dialog yang mendalam dengan Sang
Pencipta dalam setiap langkah kehidupan kita.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dan belajar dari makna yang terdalam dari
peristiwa besar ini.[]




