Opini

𝗦𝗲𝗯𝘂𝗮𝗵 𝗜𝗿𝗼𝗻𝗶: Hutan Sumatera dan Aceh yang Katanya Masih “Luas”, Tapi Semakin Luruh oleh Keserakahan

×

𝗦𝗲𝗯𝘂𝗮𝗵 𝗜𝗿𝗼𝗻𝗶: Hutan Sumatera dan Aceh yang Katanya Masih “Luas”, Tapi Semakin Luruh oleh Keserakahan

Sebarkan artikel ini

KoranAceh.net | Kolom – Dari udara, bentang alam itu tampak seperti guratan raksasa—garis-garis lengkung yang tak beraturan, seolah tangan manusia telah menggoreskan luka panjang pada tubuh bumi. Foto tersebut bukan karya seni abstrak. Ia adalah bukti telanjang tentang bagaimana hutan-hutan Sumatera dan Aceh, yang dahulu disebut “paru-paru terakhir” di Indonesia bagian barat, kini berubah menjadi pola cadas yang menyimpan kisah kehilangan.

Ironinya, dalam beberapa tahun terakhir, narasi yang sering kita dengar adalah bahwa wilayah Sumatera—termasuk Aceh—masih memiliki hutan yang “luas”, “utuh”, dan “menjanjikan”. Sebuah janji yang kemudian dibungkus sebagai peluang emas untuk mengundang investor. Seakan-akan keutuhan itu adalah ruang kosong yang menunggu untuk diubah menjadi baris-baris komoditas.

Padahal yang utuh sesungguhnya hanyalah ilusi statistik.

Di banyak tempat dalam radius Sumatera, lanskap yang terlihat bukan lagi kanopi hijau yang rapat, melainkan pola-pola konsesi: perkebunan monokultur, ladang bekas tebangan, dan area pembukaan yang menanti bibit komersial. Hutan yang tersisa memang masih ada—terutama di kawasan Taman Nasional, bentang Leuser, dan beberapa blok ekosistem penting—tetapi tekanan terhadapnya tidak pernah berhenti. Jalan logging, izin industri, pembukaan lahan, dan ekspansi ruang ekonomi selalu datang sebagai “kepentingan pembangunan”.

Aceh sering dipuji karena wilayah hutannya yang masih luas. Tetapi foto udara menunjukkan kontras paling tajam: apa yang disebut “potensi investasi” kerap justru menyiratkan babak baru eksploitasi. Kita mengundang modal, tetapi lupa bahwa modal terbesar yang kita miliki sebenarnya justru ada pada hutan itu sendiri—airnya, karbonnya, keanekaragaman hayatinya, dan perlindungan ekologisnya.

Paradoks ini semakin nyata ketika bencana berdatangan bertubi-tubi: banjir bandang, longsor, dan kerusakan lingkungan yang meluas. Hutan yang hilang menagih konsekuensi. Namun di meja kebijakan, pembangunan tetap dibahas dengan logika yang sama: membuka lahan berarti membuka peluang.

Mungkin justru di sinilah ironi itu memuncak.

Kita memandang hutan yang tersisa sebagai ruang ekonomi, bukan ruang kehidupan. Kita melihat investor sebagai masa depan, bukan ekosistem yang masih bertahan sebagai penyangga kehidupan ratusan ribu orang.

Jika foto dari udara ini dapat berbicara, ia mungkin akan mengatakan:

“Inilah harga dari pembangunan tanpa batas. Inilah bentuk dari kepergian hutan yang dulu kalian anggap tidak akan habis.”

Hutan Sumatera dan Aceh memang masih punya sisa-sisa keutuhan—tetapi pertanyaannya: apakah sisa itu akan kembali kita jadikan komoditas, atau kita pertahankan sebagai warisan yang tidak bisa diganti?

Karena pada akhirnya, yang menjanjikan bukanlah tanah yang digunduli untuk investor, melainkan ekosistem yang tetap hidup untuk generasi berikutnya.