Jakarta — Italia menjadi negara dengan kasus virus corona (Covid-19) terbanyak kedua di dunia setelah China. Bahkan kematian akibat terinfeksi virus corona di Italia kini
tertinggi.
Hanya dalam waktu kurang dari dua bulan sejak virus serupa SARS itu masuk akhir
Januari lalu, hingga Selasa (24/3) kasus virus corona di Italia mencapai 63.927
berada di bawah China yakni 81.171.
Angka kematian di Italia akibat Covid-19 bahkan telah melampaui China yaitu
6.077. China yang merupakan tempat awal virus itu muncul mencatatkan 3.277
pasien meninggal.
Pada Sabtu pekan lalu, sebanyak 800 pasien corona di Italia dinyatakan
meninggal dalam sehari.
Lonjakan kasus dan kematian ini terjadi di tengah kebijakan lockdown atau
penutupan total yang telah diberlakukan Perdana Menteri Giuseppe Conte sejak 9
Maret.
Sejumlah ahli kesehatan hingga dokter menganggap ada beberapa faktor yang
menyebabkan Italia menjadi sarang baru virus corona, mulai dari ketidakpatuhan
warga hingga jumlah populasi lansia di negara Eropa tersebut.
Warga Terlalu ‘Santai’
Sekelompok ahli medis yang dikirimkan ke Italia baru-baru ini mengaku bahwa
kebijakan karantina dan lockdown yang diterapkan PM Conte,
terutama di wilayah utara negara Eropa itu, terlalu ‘longgar’.
Wakil Presiden Palang Merah China, Sun Shuopeng, menuturkan masih banyak warga
yang tak menuruti aturan karantina dan social distancing (menjaga
jarak).
“Di sini, di Milan, salah satu area paling terdampak wabah Covid-19,
penerapan kebijakan lockdown sangat longgar. Saya bisa melihat
transportasi publik beroperasi, orang-orang masih bepergian, berkumpul di
hotel, dan mereka tidak menggunakan masker sama sekali,” ucap Sun, salah
satu praktisi kesehatan yang dikirim ke Milan untuk membantu penanganan wabah
seperti dilansir dari South China Morning Post.
Sun merasa putus asa dengan apa yang dipikirkan sebagian besar warga Italia
lantaran berkeras terus beraktivitas seperti biasa di tengah krisis pandemi
seperti ini.
“Saya tidak tahu apa yang orang-orang di sini pikirkan. Kita harus
berhenti melakukan aktivitas perekonomian dan interaksi sosial. Kita harus
berdiam diri di rumah dan membuat segala upaya berhasil melindungi
masyarakat,” kata Sun.
Tak hanya warga biasa, sikap meremehkan wabah corona juga ditunjukkan oleh
beberapa tokoh dan pejabat Italia.
Dilansir dari New York Times,
sekitar 17 Februari lalu, Pemimpin Partai Demokrat yang berkuasa di Italia,
Nicola Zingaretti, mengunggah sebuah foto di akun media sosialnya dengan caption berisikan
“ajakan” bagi warga Italia untuk tidak berlebihan menanggapi
Covid-19.
Dalam unggahan itu, Zingaretti bahkan mendesak warga Italia untuk tidak
mengubah kebiasaan. Tapi, sepuluh hari kemudian keadaan berbalik. Zingaretii mengunggah
sebuah video berisikan pernyataan bahwa dia didiagnosis virus corona.
Meski pemerintah telah mengerahkan tentara demi memantau pergerakan orang dan
menjatuhkan denda sebesar US232 bagi setiap pelanggar, sekitar ratusan ribu
warga Italia masih berupaya bepergian keluar kota bahkan luar provinsi.
Bahkan, penutupan sekolah dan perkantoran justru digunakan sebagian warga
Italia untuk pulang kampung.
Pemeriksaan Covid-19 Terbatas
Menurut Kepala Unit Penyakit Menular Rumah Sakit Sacco di Milan, Massimo Galli,
jumlah kasus virus corona di Italia saat ini belum mewakili total populasi yang
terinfeksi Covid-19 di negara tersebut. Itu artinya, kara Galli, jumlah kasus
virus corona di Italia masih bisa melebihi dari yang selama ini terkonfirmasi.
Galli menjelaskan salah satu alasannya adalah karena pemerintah selama ini
hanya fokus memeriksa orang-orang yang memiliki gejala akut Covid-19 di
wilayah-wilayah dengan intensitas pandemi corona tinggi.
Padahal, virus Covid-19 memiliki waktu inkubasi selama 14 hari sebelum memicu
orang yang terinfeksi menunjukkan gejala. Sementara itu, orang yang terpapar
virus corona sudah bisa menularkan virusnya ke orang lain meski belum
menunjukkan gejala.
Bahkan dalam beberapa kasus, sejumlah pasien corona tidak mengalami gejala apa
pun seperti demam, batuk, pilek, atau sesak napas. Para ahli meyakini bahwa
faktor ini lah yang disebut “penularan dengan sembunyi-sembunyi”.
“Ini menyebabkan tingkat kematian tinggi di Italia karena didasarkan pada
kasus yang paling parah dan bukan pada totalitas mereka yang terinfeksi,”
ucap Galli seperti dilansir Al Jazeera.
Hingga 15 Maret, Italia telah melakukan tes corona terhadap 125 ribu orang,
sementara itu jumlah orang yang telah dites corona di Korea Selatan-salah satu
negara dengan kasus Covid-19-lebih dari dua kali lipatnya yakni sebanyak 340
ribu.
Korea Selatan memang dinilai menjadi negara yang paling aktif memperluas
pemeriksaan terhadap seluruh warga. Negara di Semenanjung Korea itu bahkan
menerapkan tes Covid-19 melalui layanan drive-through demi mempermudah warga.
Pemeriksaan Covid-19 di Korea Selatan juga gratis bagi seluruh warga termasuk
warga asing hingga imigran ilegal. Dengan pemeriksaan masif tersebut, Korea
Selatan berhasil menekan jumlah kasus virus corona baru.
Kini, Korea Selatan memiliki 9.037 kasus virus corona dengan 120 kematian. Di
awal penyebaran Covid-19, Korea Selatan sempat menjadi negara kedua dengan
kasus dan angka kematian akibat corona terbanyak setelah China.
Populasi Lansia Tinggi
Jumlah generasi tua yang tinggi dinilai menjadi salah satu faktor angka
kematian akibat Covid-19 tinggi di Italia. Berdasarkan laporan terbaru Institut
Kesehatan Nasional Italia (ISS), 85,6 persen dari 6.077 pasien corona yang
meninggal berusia di atas 70 tahun.
Sebanyak 23 persen dari total populasi Italia memang lansia berusia di atas 65 tahun.
Italia merupakan negara kedua dengan jumlah populasi lansia terbesar saat ini
setelah Jepang.
Sistem kesehatan Italia menjadi salah satu yang terbaik di Eropa. Selain
menyediakan berbagai layanan kesehatan, Italia juga menjamin biaya hampir
seluruh fasilitas kesehatan.
Meski begitu, Galli menganggap banyak pasien corona berusia lansia yang tak
bisa diselamatkan lantaran telah memiliki penyakit bawaan. Menurut laporan ISS,
48 persen dari pasien Covid-19 yang meninggal di Italia sudah memiliki rata-rata
tiga penyakit bawaan.
“Kami memiliki banyak orang lansia dengan penyakit yang mampu bertahan
berkat layanan kesehatan yang luas, tetapi orang-orang ini menjadi lebih rapuh
terpapar Covid-19 dibandingkan rentang usia lainnya,” kata Galli. (CNN
Indonesia)




