CATATAN REDAKSI | KoranAceh.id – Dalam dunia kebencanaan, hukum seharusnya menjadi kompas yang menjaga arah penanganan tetap tepat dan tidak terombang-ambing oleh politik. Namun apa yang terjadi dalam bencana besar yang melanda Aceh dan Sumatera dalam sepekan terakhir justru menampakkan kaburnya batas antara istilah hukum dan bahasa politik.
Dr. Taqwaddin, akademisi Magister Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala, melalui akun Facebooknya, mengingatkan kembali bahwa UU Nomor 24 Tahun 2007 hanya mengenal tiga kategori status darurat: nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan istilah “Bencana Sumatera”. Itu bukan istilah hukum—itu istilah politik. Dan ketika bahasa politik mengambil alih penanganan bencana, yang dikorbankan selalu rakyat di lapangan.
Pertanyaannya kemudian muncul:
Mengapa pemerintah pusat enggan menetapkan Darurat Bencana Nasional untuk Aceh, padahal skala kerusakan dan korban sudah melampaui kapasitas daerah?
Sampai hari ketujuh bencana, indikator itu sudah terpampang jelas: korban meninggal, korban hilang, wilayah terisolir, infrastruktur runtuh, dan lumpuhnya layanan dasar. Jika itu belum cukup menjadi alasan, lalu apa yang sedang dihitung oleh pusat?
Birokrasi yang Menghambat Bantuan, Ketika Waktu Adalah Nyawa
Pemerintah Aceh melalui Juru Bicara Posko Tanggap Darurat, Murthalamuddin, telah menyampaikan hal paling esensial: akses ke wilayah terdampak sangat buruk dan tidak ada waktu untuk menunggu. Jalan putus, jembatan hanyut, listrik padam, dan komunikasi terseok-seok meski ada internet satelit. Di banyak titik, relawan memanggul bantuan dengan tangan kosong karena kendaraan tak bisa masuk.
Di tengah kondisi seperti ini, permintaan Pemerintah Aceh agar pusat mempermudah izin masuknya bantuan internasional bukan sekadar prosedur. Itu adalah seruan darurat agar rakyat di pelosok Aceh tidak mati menunggu.
Aceh memiliki sejarah panjang bekerja bersama komunitas internasional pada masa bencana. Maka pertanyaan paling penting kini adalah: mengapa pemerintah pusat terkesan menahan pintu?
Jika keselamatan rakyat adalah prioritas, maka tidak ada alasan birokrasi yang pantas untuk menghalangi masuknya logistik dan dukungan teknis dari lembaga kemanusiaan dunia.
Saat Rakyat Berteriak, Masyarakat Sipil Mengambil Alih Ruang Kepemimpinan Moral
Koalisi Masyarakat Sipil Aceh menyampaikan kritik paling lantang dalam beberapa hari terakhir. Mereka menyebut lambannya penetapan status darurat nasional sebagai bukti minimnya kepedulian pusat terhadap penderitaan korban.
Data di lapangan memperkuat hal itu:
- banyak titik yang belum tersentuh evakuasi,
- logistik tidak sampai,
- korban hilang belum ditemukan,
- dan ketiadaan suplai kebutuhan pokok memicu kepanikan di luar daerah bencana.
Dalam situasi ini, Koalisi menyerukan langkah-langkah tegas: refocusing APBA, penghapusan belanja tidak prioritas seperti mobil dinas dan proyek bibit, optimalisasi posko, distribusi transparan, hingga operasi pasar agar kebutuhan dasar tidak menjadi komoditas kelangkaan.
Seruan ini seharusnya menjadi cermin bagi pemerintah daerah maupun pusat bahwa publik tidak lagi percaya pada retorika. Mereka menuntut kehadiran negara, bukan sekadar pernyataan konferensi pers.
Kesimpulan Redaksi: Saatnya Meletakkan Politik di Belakang, Menyelamatkan Rakyat di Depan
Ketiadaan status Darurat Bencana Nasional serta penggunaan istilah non-hukum “Bencana Sumatera” memperlihatkan kecenderungan bahwa pemerintah pusat lebih berhati-hati menjaga citra dan kalkulasi politik dibanding mengambil keputusan cepat yang menyelamatkan nyawa.
Padahal dalam keadaan seperti ini, keputusan yang lambat adalah keputusan yang mematikan.
Aceh membutuhkan:
- status bencana yang jelas secara hukum,
- kemudahan masuknya bantuan internasional,
- refocusing anggaran besar-besaran,
- dan kehadiran negara yang sesungguhnya, bukan sekadar simbolik.
Di tengah genangan lumpur, pemadaman listrik, dan warga yang menanti pertolongan, satu hal menjadi pasti:
politik tidak boleh menjadi penghalang kemanusiaan.

