Kisruh beras 250 ton membuka luka lama penutupan Sabang 1985. Bukti politis bagaimana sentralisasi Jakarta kerap mematikan potensi ekonomi Aceh.
koranaceh.net | Editorial – Kisruh 250 ton beras yang sempat menjadi isu nasional bukan sekadar soal logistik. Bagi publik Aceh, peristiwa ini membuka luka lama: memori tentang penutupan Pelabuhan Bebas Sabang oleh Jakarta pada 2 Oktober 1985. Mengapa pintu dagang sestrategis itu—yang berada tepat di bibir Selat Malaka—justru dimatikan?
Publik kini sadar, keputusan Orde Baru kala itu bukan semata urusan teknis bea cukai. Itu adalah kombinasi rumit antara politik, keamanan, dan ambisi pembangunan yang “Jawa-sentris”.
Pertama, stigma penyelundupan. Pada akhir 70-an hingga 80-an, Jakarta menilai status pelabuhan bebas membuat pengawasan longgar. Sabang dicap sebagai gerbang barang ilegal. Sayangnya, alih-alih membenahi sistem pengawasan, pemerintah pusat memilih jalan pintas: menutup pelabuhan total. Potensi ekonomi yang harusnya dibina, justru dibinasakan.
Kedua, anak tiri demi Batam. Di saat yang sama, Soeharto sedang ambisius menyulap Batam menjadi pusat industri dan logistik. Jakarta butuh satu primadona, dan Sabang dikorbankan agar fokus investasi tidak terpecah. Sabang dikesampingkan agar Batam bisa bersinar.
Ketiga, kontrol politik. Memasuki era konflik, pusat paranoid terhadap daerah yang memiliki akses luar negeri terlalu bebas. Menutup Sabang adalah strategi halus untuk membatasi ruang gerak ekonomi Aceh dan memperkuat cengkeraman kontrol dari Jakarta.
Terakhir, alasan “gagal berkembang”. Meski sempat dibuka Presiden Soekarno pada 1963, investasi di Sabang tersendat karena kebijakan pusat yang plin-plan. Ketika hasilnya dianggap minim, status istimewanya dicabut kembali. Sabang disalahkan atas kegagalan yang sebenarnya diciptakan oleh ketidakkonsistenan regulasi pusat.
Insiden beras hari ini menjadi cermin nyata. Masyarakat Aceh kembali melihat pola usang: kebijakan pusat yang tidak sinkron, penuh kecurigaan, dan minim kepercayaan. Penutupan 1985 membuktikan bahwa Sabang mati bukan karena tak punya potensi, melainkan karena politik pembangunan yang sentralistik. Sabang adalah simbol paling jelas dari ketegangan relasi Aceh dan Jakarta yang belum sepenuhnya pulih. []




