Editorial

Pasca “Insiden Nasional 250 Ton Beras”: Rakyat Aceh Makin Sadar Kenapa Pelabuhan Bebas Sabang Ditutup

×

Pasca “Insiden Nasional 250 Ton Beras”: Rakyat Aceh Makin Sadar Kenapa Pelabuhan Bebas Sabang Ditutup

Sebarkan artikel ini

KoranAceh.id | Editorial – Insiden Nasional 250 Ton Beras” yang mencuat beberapa waktu lalu membuat publik Aceh kembali menengok sejarah yang selama ini terkubur: mengapa Pelabuhan Bebas Sabang—pintu dagang strategis di jalur tersibuk dunia, Selat Malaka—justru pernah ditutup pemerintah pusat pada 2 Oktober 1985?

Peristiwa itu seakan membuka kesadaran baru. Aceh kini memahami bahwa keputusan Orde Baru saat itu bukan sekadar urusan teknis bea cukai, tetapi gabungan kepentingan politik, keamanan, dan arah pembangunan nasional yang sepenuhnya dipusatkan di Jakarta.

1. Sabang Disebut Sumber Penyelundupan

Pada akhir 1970–1980-an, pemerintah pusat menilai status free port membuat kontrol bea cukai longgar. Sabang dicap sebagai jalur masuk barang-barang luar negeri tanpa pengawasan ketat. Alih-alih dibina, pelabuhan itu justru ditutup total—mengubur peluang ekonomi yang seharusnya bisa tumbuh menjadi poros dagang internasional.

2. Batam Diutamakan, Sabang Dikesampingkan

Pada periode yang sama, Soeharto sedang membangun Batam sebagai proyek besar industri, perdagangan, dan logistik internasional. Dengan agenda ini, Sabang dianggap tidak lagi prioritas nasional. Pilihan Jakarta jelas: membesarkan Batam, mengecilkan Sabang.

3. Faktor Politik Aceh Era Konflik

Aceh memasuki fase politik sensitif sejak 1970-an. Pusat tak ingin ada daerah berstatus “rawan” yang memiliki pintu perdagangan internasional terlalu bebas. Penutupan Sabang adalah cara halus mengurangi ruang gerak ekonomi Aceh dan memperkuat kontrol pusat.

4. Sabang Dinilai Tidak Berkembang—Versi Pemerintah Pusat

Meski dibuka kembali pada 1963 oleh Presiden Soekarno, investasi di Sabang tidak besar karena kebijakan pusat yang tidak konsisten. Ketika dianggap tidak menghasilkan pemasukan signifikan, status bebas itu kembali dicabut.

Kesadaran Baru Pasca Insiden Beras

Munculnya persoalan 250 ton beras impor yang kemudian menjadi “insiden nasional” membuat rakyat Aceh melihat pola lama: kebijakan pusat terhadap Aceh sering tidak sinkron, penuh kecurigaan, dan minim kepercayaan. Banyak yang kembali mengingat bagaimana Sabang dulu ditutup—dan dampaknya masih terasa hingga hari ini.

Penutupan Pelabuhan Bebas Sabang pada 1985 bukan karena Sabang tidak penting, tetapi karena politik pembangunan Orde Baru yang bercorak sentralistik. Ia mengakhiri peran historis Sabang sebagai gerbang global Aceh, sebuah posisi yang baru mulai dipulihkan lagi 15 tahun kemudian pada tahun 2000.

Bagi masyarakat Aceh, peristiwa beras hari ini seperti cermin: mengingatkan bahwa akses Aceh terhadap perdagangan internasional selalu berada dalam tarik-menarik kepentingan pusat—dan Sabang adalah simbol paling jelas dari ketegangan itu. []