Editorial

Ini Yang Telah Diambil Negara Dari Kita

×

Ini Yang Telah Diambil Negara Dari Kita

Sebarkan artikel ini

KoranAceh.net | Editorial – Kadang, untuk memahami apa yang sesungguhnya telah diambil negara dari kita, kita tidak perlu menunggu pengumuman resmi atau kebijakan formal. Kita hanya perlu melihat apa yang perlahan hilang dari kehidupan tanpa kita sadari. Yang hilang itu bukan sekadar pohon, bukan sekadar bukit, bukan sekadar aliran sungai—melainkan seluruh sistem yang selama ini diam-diam melindungi kita.

Hutan yang dulu menjadi payung bagi tanah kini terbuka lebar, telanjang menyambut matahari dengan cara yang menyedihkan. Dari udara, bekas-bekas luka itu tampak jelas: garis-garis traktor mengiris bukit, pola-pola yang tampak seperti rencana tetapi sebenarnya kekacauan yang dilegalkan. Di bawahnya, tanah kehilangan pegangan, akar-akar yang dulu menahan kehidupan kini tak lagi ada.

Sungai yang dulu tenang kini mengalir keruh, membawa ampas industri dan tanah yang terburai. Angin membawa aroma debu yang dulu tertahan oleh rimbun pepohonan—pepohonan yang kita kira akan selalu ada, sampai suatu hari mesin-mesin datang dan menghapusnya dalam hitungan jam.

Lalu ketika banjir atau longsor datang, media dan para pejabat buru-buru menyebutnya sebagai fenomena alam. Seolah-olah alam tiba-tiba memutuskan untuk marah begitu saja. Seolah-olah hujan adalah penyebab tunggal, bukan rangkaian panjang keputusan-keputusan yang dibiarkan terjadi atas nama pembangunan, atas nama investasi, atas nama pertumbuhan ekonomi yang tak pernah kita rasakan manfaatnya.

Padahal yang hilang adalah perlindungan paling dasar: hutan yang seharusnya dijaga, sungai yang seharusnya dirawat, tanah yang seharusnya diperlakukan sebagai amanah.

Dalam senyapnya bencana, kata-kata Pidi Baiq bergema halus tetapi menghujam dalam: negara tidak hanya mengambil ruang hijau kita—ia telah mengambil ketenangan yang dulu begitu mudah kita rasakan.

Kita kehilangan pagi-pagi yang jernih. Kita kehilangan hujan yang hanya berarti basah, bukan ancaman. Kita kehilangan sungai yang hanya berarti aliran, bukan bahaya. Kita kehilangan rasa aman di kampung sendiri.

Dan kehilangan itu tidak terjadi tiba-tiba. Ia terjadi perlahan, disetujui dalam rapat-rapat yang tidak kita hadiri, ditandatangani oleh tangan yang tidak memikul akibatnya, tetapi kita yang menanggung bebannya—air yang masuk ke rumah, jembatan yang putus, tanah yang bergerak, dan kuburan orang tua yang terbenam.

Jika hutan terus hilang karena keputusan yang bukan kita buat, sampai kapan kita berpura-pura percaya bahwa bencana adalah ulah alam? Sampai kapan kita menganggap derita ini sebagai takdir, bukan hasil dari pilihan yang diberi legitimasi?

Aceh kini sedang membayar harga dari hilangnya sesuatu yang dulu kita anggap biasa: sebuah hutan yang utuh.

Mungkin saat ini yang harus kita tanyakan bukan hanya “kenapa banjir terjadi?”, tetapi “apa lagi yang akan diambil negara dari kita jika kita terus diam?”

Karena pada akhirnya, alam tidak pernah salah. Yang salah adalah mereka yang merampasnya tanpa mempertimbangkan masa depan yang juga mereka tinggali.[]