Kejagung mendalami peran Ahok sebagai Komisaris Utama dalam pengawasan tata
kelola minyak mentah dan produk kilang.
koranaceh.net ‒ Mantan
Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, menjalani
pemeriksaan selama 11 jam di Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus dugaan
korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada Subholding PT
Pertamina Patra Niaga dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode
2018-2023. Pemeriksaan dilakukan sejak pukul 08.30 WIB hingga 18.31 WIB,
Kamis, 13 Maret 2025.
Baca Juga :
Dugaan Korupsi dan Blending Pertamax-Pertalite, Apa Dampaknya bagi
Konsumen dan Negara?
Usai pemeriksaan, Ahok mengaku terkejut dengan temuan penyidik terkait
kasus ini. “Saya juga terkaget-kaget dikasih tahu tentang pengusutan kasus
ini, ada fraud apa, ada penyimpangan apa, transfer seperti apa, itu tadi
dijelaskan,” ujar Ahok kepada wartawan, dikutip dari Tempo.
Namun, ia enggan merinci lebih lanjut temuan tersebut dan menyerahkannya
kepada penyidik. “Itu biar penyidik. Nanti saat persidangan juga akan
dibuka,” tambahnya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar,
menjelaskan bahwa pemeriksaan Ahok berfokus pada tugas dan fungsinya sebagai
Komisaris Utama dalam pengawasan operasional perusahaan.
“Lebih melihat kepada bagaimana tugas dan fungsi yang bersangkutan sebagai
komisaris utama dalam perusahaan atau korporasi yang holding, ya, PT
Pertamina Persero,” ujar Harli.
Penyidik memberikan 14 pertanyaan kepada Ahok seputar pengawasan tata
kelola impor minyak mentah dan produk kilang di Pertamina. Salah satu aspek
yang didalami adalah kebijakan impor yang dilakukan bersamaan dengan ekspor
minyak mentah oleh anak perusahaan Pertamina.
Baca Juga :
Lemigas Klaim Kualitas BBM Sesuai Standar, Namun Efektivitas Pengawasan
Dipertanyakan
“Penyidik melihat bahwa yang bersangkutan sesungguhnya mengetahui bahwa ada
ekspor terhadap minyak mentah kita. Pada saat yang sama juga dilakukan impor
terhadap minyak mentah dan produk kilang,” jelas Harli.
Dalam pemeriksaan, Ahok juga menyerahkan sejumlah data terkait catatan
rapat Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) selama masa jabatannya
sebagai Komisaris Utama. Ia menyatakan bahwa perannya hanya sebatas
monitoring dan tidak masuk ke ranah operasional
subholding.
“Saya itu sebagai Komisaris Utama hanya memonitoring dari RKAP, gitu lho.
Nah itu kan untung rugi-untung rugi. Karena kan ini kan subholding-nya.
Subholding kan saya nggak bisa sampai ke operasional. Untuk detailnya, data
tersebut ada di perusahaan,” ujar Ahok.
Kejagung sebelumnya telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus dugaan
korupsi ini. Enam tersangka berasal dari jajaran direksi anak perusahaan
Pertamina, sementara tiga lainnya merupakan pihak swasta. Mereka antara
lain:
Pejabat Subholding Pertamina
- Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan
- Direktur Optimasi Feedstock & Produk PT Kilang Pertamina
Internasional, Sani Dinar Saifuddin - Direktur PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi
- Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya
Kusmaya - VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne
- VP Feedstock Management PT KPI, Agus Purwono
Pihak Swasta
- Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, Muhammad Kerry Adrianto
Riza - Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim, Dimas
Werhaspati - Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak, Gading
Ramadhan Joede
Kejagung menemukan adanya dugaan penggelembungan harga atau
markup dalam kontrak pengangkutan (shipping) minyak mentah
sebesar 13-15 persen. Selain itu, Pertamina diduga menerima BBM berkualitas
lebih rendah dari yang dibayarkan. Seharusnya, Pertamina menerima BBM jenis
RON 92, tetapi yang diterima justru RON 90 dan RON 88, yang kemudian
dicampur (blending).
Baca Juga :
Erick Thohir Bakal Lakukan Review Total Tata Kelola Pertamina Usai
Kasus Dugaan Korupsi
Akibat dugaan korupsi ini, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga
Rp193,7 triliun. Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3
jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001,
serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Ahok sendiri belum berstatus sebagai tersangka. Kejagung menegaskan bahwa
pemeriksaannya saat ini masih dalam kapasitas saksi. “Ini kan pemeriksaan
saksi, jadi tidak semua orang harus jadi tersangka. Jadi, bagaimana
pengetahuannya terhadap perbuatan para tersangka itu, itu yang difokuskan,”
kata Harli.
Kejagung berencana memanggil Ahok kembali dalam pemeriksaan lanjutan
setelah penyidik mengumpulkan tambahan bukti dan data terkait kasus ini.
[]




