Ketua Genta Pangan Aceh kritik Mentan soal impor Sabang, tegaskan status pelabuhan bebas sesuai UUPA dan minta pusat hormati kekhususan Aceh.
koranaceh.net | Banda Aceh – Pernyataan Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, terkait impor beras di Kawasan Sabang menuai respons keras dari daerah. Ketua Genta Pangan Aceh, A. Malik Musa, menilai pandangan tersebut keliru dan mengabaikan status hukum khusus yang dimiliki Sabang sebagai pelabuhan bebas.
Malik Musa menegaskan bahwa Sabang memiliki posisi strategis yang diatur secara spesifik melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang (KPBPB). Status ini diperkuat oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006.
Dalam Pasal 167 UUPA, Sabang ditetapkan sebagai wilayah yang terpisah dari daerah pabean, sehingga mekanisme keluar-masuk barang memiliki aturan tersendiri yang berbeda dari wilayah Indonesia lainnya.
Menurut Malik, ketidaktahuan pusat terhadap regulasi ini berpotensi mencederai kekhususan Aceh. Ia menjelaskan, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) bersama Dewan Kawasan Sabang memiliki kewenangan penuh dalam menerbitkan izin usaha dan mengatur lalu lintas barang.
Hal ini, terangnya, membuat barang impor untuk kebutuhan Sabang sah secara hukum selama sesuai koridor regulasi kawasan tersebut. “Ini bukan wilayah biasa. Sabang itu freeport dengan kewenangan perdagangan yang diatur secara khusus,” kata Malik Musa dalam keterangan tertulisnya, Selasa (25/11/2025).
Ia menambahkan, kebijakan impor komoditas tertentu di Sabang adalah kebutuhan riil akibat faktor geografis kepulauan. Ketergantungan penuh pasokan dari daratan Sumatera dinilai justru akan melambungkan harga bahan pokok dan membebani masyarakat setempat.
Selain menyoroti aspek legalitas, Malik juga menyinggung aspek historis. Ia menilai pernyataan Mentan kurang menghargai sejarah panjang kontribusi Aceh bagi Republik Indonesia, mulai dari peran Radio Rimba Raya dalam diplomasi kemerdekaan, sumbangan dana untuk Monas, hingga sejarah penerbangan perdana Garuda Indonesia.
Oleh sebab itu, ia meminta pejabat pusat untuk memahami konteks sejarah dan regulasi sebelum melontarkan pernyataan publik. “Aceh punya jasa besar. Menteri harus menghargai itu dengan memahami regulasi Aceh sebelum berbicara,” ujarnya.
Dalam perspektif ekonomi makro, Malik mendorong agar Sabang diposisikan sebagai gerbang internasional, mengingat letaknya di titik nol kilometer Indonesia. Ia melihat potensi besar Sabang untuk menarik wisatawan global, termasuk investasi dari Timur Tengah. Pemerintah pusat diminta memfasilitasi pembangunan infrastruktur penunjang, seperti pelabuhan dan bandara berstandar internasional, alih-alih membatasi kewenangan daerah.
Menutup keterangannya, Malik mendesak Pemerintah Aceh untuk mengambil sikap tegas dalam berkomunikasi dengan Presiden dan kementerian terkait. Ia menekankan bahwa kesalahan regulasi dari pusat dapat menghambat kemandirian pangan dan merugikan pertumbuhan ekonomi daerah. []




